(Pendidikan Karakter ala Rasulullah)
Artikel: ADHYATNIKA GU
Bandung Barat, (Newsroom). Manusia sebagai bagian dari makhluk sosial, zoon politicon., tidak akan pernah lepas dari interaksi sesamanya. Istilah yang diperkenalkan oleh Aristoteles, Pilosof Yunani, mengisyaratkan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berhubungan. Sebuah hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Adam Smith, Bapak ekonomi, secara spesifik mengartikan makhluk sosial dengan istilah homo homini Socius, manusia sebagai sahabat bagi manusia lainnya. Bahkan , Adam Smith menyebut manusia sebagai homo economicus, makhluk ekonomi, yang cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperolehnya dan cenderung selalu berusaha secara terus menerus dalam memenuhi kebutuhannya.
Dalam perjalanannya, manusia sering bersinggungan dengan berbagai kepentingan. Sebagai makhluk sosial, dia akan berusaha hadir dalam setiap event kemasyarakatan. Sebagai ekonom, dia akan berusaha meraih kepuasan hidupnya. Itulah manusia, yang Tuhan takdirkankan menempati hamparan bumi sebagai khalfah-Nya. Makhluk yang beraneka ragam coraknya; suku, bangsa, ras, budaya, dan kepentingan politiknya. Gambaran tentang keberagaman makhluk ini , dan tujuan keberagamannya, secara tegas disampaikan oleh al-Qur’an surat al-Hujarat (49):13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. ..”
Dewasa ini, lebih dari tujuh miliar manusia mendiami planet bumi. Banyaknya penduduk, di satu negeri menjadi menjadi bonus demografi. Tetapi di sisi lain, tidak sedikit yang menjadi permasalahan serius bagi negeri lain. Sesuatu yang wajar mengingat begitu kompleknya permasalahan yang terjadi; pendidikan, lapangan pekerjaan, ketersediaan pangan, ketimpangan ekonomi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah krisis moral serta akhlak.
Menarik untuk dicermati ketika melihat krisis yang terjadi di suatu negeri, yang kaya sumber daya alamnya, memiliki bonus demografi, bertabur sumber daya manusianya, strategis keberadaan negrinya, dan berbagai potensi plus di dalamnya. Tetapi sayang belum dapat bersaing dengan negeri lain yang tidak sekaya dengan negeri ini, Indonesia. Kedewasaan berpikir masih sering diperdebatkan, dan kearifan menghadapi permasalahan masih dipertanyakan. Para politisi berebut kursi. Para pejabat berlomba meraih harta dan pangkat. Rakyat berdebat sesuatu yang mudarat.
Beberapa waktu lalu ter’viral’kan istilah ‘hoax’ (hoaks) , satu kata yang sebenarnya tidak baru, tetapi terangkat kembali seiring dengan kontestasi pemilihan umum serentak 2019. Hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Sangat berbanding terbalik dengan rumor, ilmu semu, maupun April Mop. Hoaks bukan sekedar misleading atau menyesatkan, informasi yang dibawanya juga tidak memiliki landasan faktual, tetapi disajikan seolah-olah sebagai serangkaian kata. Berbagai narasi dibangun untuk menggambarkan runtutan peristiwa seakan-akan benar adanya. Narasi tersebut bersifat membesar-besarkan, membanding-bandingkan, melebih-lebihkan hingga memprovokasi. Narasi ini adalah salah satu bagian dari alat hoaks, disamping gambar/foto yang digunakan untuk menambah keyakinan pembaca, juga video yang menggambarkan seakan-akan suatu peristiwa lebih nyata. Kemudian ‘meme’, biasanya digunakan untuk menggambarkan yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi bersifat humor dan lucu, kemudaia media masa yang dijadikan alat propaganda secara masif. Istilah lain untuk hoaks adalah fitnah. Suatu perbuatan yang sangat merusak keutuhan umat manusia dimanapun berada. Suatu perilaku yang Allah swt sangat benci, dan mengilustrasikannya dengan sesuatu yang lebih keji dari pembunuhan.
Keberpihakan akan suattu kepentingan sering menjadi hambatan meminimalisir hoaks. ‘Kegemaran’ akan bergunjing pun sering menjadi sebab tumbuh berkembangnya ‘penyakit hati’ ini. Intensitas komunikasi yang salah kaprah di media sosial pun terindikasi menjadi salah satu pembangkit ujaran kebencian. Berbagai grup Whatsapp, Facebook, Tweeter, dan media lainnya, menjadi corong hoaks.
Keberadan hoaks sungguh memprihatinkan semua pihak. Bangsa yang dikenal memiliki pribadi yang ramah, sopan, dan santun, menjadi terkotak-kotak keberadaannya. Berbagai kepentingan masuk pada semua aspek; ideologi, politik, sosial, agama, budaya, pertahanan, dan keamanan. Adalah perlu dibangun kembali jati diri bangsa ini.
Hoaks tercatat dalam sejarah pernah mengoyak-ngoyak banyak negeri. Imam Ali, kehilangan kekuasaan dikarenakan hoaks kaum munafik. Dinasti Umayah, Abasyiah, Utsmaniyah, Moghul, dan Andalusia yang beratus-ratus tahun memimpin dunia, runtuh karena hoaks. Betulah yang terjadi di Lybia, Suriah, Palestina, Jazirah Arab, dan belahan dunia lainnya, saling bertikasi sesama anak bangsa dikarenakan ‘penyakit hati’ ini.
Menyikapi hoaks sesungguhnya tidaklah sulit seandainya memahami dan meyakini kebenaran firman Allah swt yang dituangkan dalam al-Qur’an surat al-Hujarat (49):6: ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. Permasalahannya adalah apakah masih ada keyakinan untuk meyakini ‘rambu-rambu’ di atas.
Islam memberikan solusi yang ‘jitu’ dalam memberangus hoaks, dengan ‘tabayyun’. Tabayyun adalah pendidikan yang diajarakan Allah swt melalui Rasulullah SAW, seperti diperintahkan dalam ayat di atas. Setiap informasi yang didapat, yang belum diketahui secara pasti kebenaran dan kepastian hukumnya, maka wajiblah ber’tabayyun. Meneliti dengan seksama segala berita yang didapat. Terbih menyangkut kehormatan diri, orang lain, umat, sesama anak bangsa, serta kehormatan pemimpin agama dan negara. Konfrontir dengan pihak yang dapat dipercaya, adalah langkah penting untuk mengecek kebenaran informasi. Dengan langkah tersebut diyakini dapat membatasi ruang gerak hoaks.
Hoaks adalah penyakit hati. Langkah mendasar yang perlu diambil adalah sebagaimana yang disabdakan Baginda Rasul SAW: ‘Ibda binnafsik.’ Mulailah dari diri sendiri. Sesuatu tidak akan mungkin berubah kecuali ada keinginan, dan tindakan dari diri sendiri. Merubah satu kebiasaan yang telah ‘hampir’ membudaya relatif sulit, jika tidak mulai dari diri sendiri. ‘Penyakit’ ini sudah saatnya dihilangkan selamanya. Hidup berkah, aman, dan damai tanpa hoaks dengan tabayyun. Wallahu’alam.***
Biodata Penulis:
Adhyatnika Geusan Ulun, dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi.
Pekerjaan: Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat sejak tahun 1999. Pengurus MGMP B. Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Anggota dan Editor NEWSROOM tim peliput berita Dinas Pendidikan Kab. Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Penulis Buku Anak dan Remaja. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. Adhyatnika.gu@gmail.com., Ig.@adhyatnikageusanulun