DIAN SAVITRI, S.Pd
(Guru Bahasa Inggris SMP Negeri 5 Cipongkor)
Sebagai guru, kita bisa mengajarkan etika berkomunikasi dalam aplikasi Whatsapp, etika menggunakan media sosial dan menyikapi postingan yang dilihat. Beberapa poin ini terkadang dianggap enteng dan lupa disampaikan jika pembelajaran dilakukan di dalam kelas…
Latar Belakang
Jika biasanya orang-orang menyambut tahun baru dengan sukacita, lain halnya dengan tahun 2020 kemarin. Tahun itu dibuka dengan munculnya wabah virus Corona. Tepat di bulan Maret, sekolah harus ditutup karena adanya pandemi Covid-19 yang begitu mematikan. Tawa anak-anak yang biasa menggema di kelas dan lorong sekolah lenyap seketika. Adaptasi pun dimulai.
Sejak Pemerintah mengumumkan untuk bersekolah secara daring, kami sangat belum siap menerima. Senjata utama belajar daring adalah gawai disertai paket data dan sinyal. Sebagian besar siswa kami tidak memilikinya. Sebuah handphone bagi mereka adalah barang mewah. Hanya sedikit siswa memegang benda ini. Tidak jarang mereka ‘berdendang’ gawainya tidak memiliki paket data.
Di akhir Maret, sekolah kami yang terletak di dataran tinggi dan susah sinyal ini mendapat bantuan alat penunjang belajar daring, yakni seperangkat komputer, laptop dan beberapa puluh tablet. Kami bernafas lega. Anak-anak akan belajar lebih efektif dengan ini. Setiap tablet dipertanggungjawabkan kepada satu kelompok yang terdiri dari 5-6 orang. Selama satu bulan lamanya, sekolah memfasilitasi paket data semua tablet. Sementara bulan berikutnya menjadi tugas mereka membeli secara iuran.
Walau raga tidak berjumpa, penulis melihat bahwa datangnya pandemi ini tidak begitu saja memutus komunikasi dengan siswa. Penulis membuat satu grup untuk satu kelas dan satu mata pelajaran. Di sana seringkali anak-anak aktif mengirimkan chat, gambar dan bahkan mengobrol santai dengan temannya. Meskipun di dalam grup tersebut ada penulis sebagai guru. Sekilas, membaca chatting mereka menjadi penghibur bagi penulis. Hal ini menjadi kesempatan bagi penulis untuk semakin mengenal mereka dan membuat nyaman untuk berinteraksi ketika pelajaran berlangsung.
Langkah Penyelesaian
Suatu kebetulan penulis hanya mengampu empat kelas dengan mata pelajaran yang sama, yakni bahasa Inggris. Setiap ada jadwal, penulis selalu memberikan instruksi dengan bahasa Inggris dan disertai dengan voice message sebagai penjelas. Tentu saja dapat ditebak, siswa riuh berkomentar bahwa mereka tidak paham dan melontarkan berbagai alasan. Kegiatan seperti ini berlangsung sangat lama karena seiring dengan belum redanya pandemi.
Interaksi yang terjadi di dunia maya terebut ternyata tidak membuat kami kikuk. Bahkan di malam hari group kelas ini ramai dengan chatting mereka. Jika ada pesan maupun gambar yang kurang etis, penulis segera memotong dan meminta yang bersangkutan untuk menghapus.
Sebenarnya, penulis pernah mencoba menggunakan media zoom untuk menyampaikan materi kepada siswa. Hasilnya mengecewakan karena rumah mereka tidak didukung sinyal yang baik. Kondisi geografis desa yang berbukit tidak memungkinkan bagi mereka mendapat sinyal stabil. Alhasil hanya beberapa yang berhasil masuk ke pertemuan zoom tersebut.
Kemudian penulis kembali memaksimalkan penggunaan Whatsapp sebagai media pembelajaran. Faktanya, anak-anak pun nyaman dengan aplikasi ini. Selain ramah kuota juga ramah sinyal. Interaksi yang terjadi di dalam grup kelas menjadi sebuah deep talk yang terbentuk karena begitu seringnya kami mengobrol. Meskipun dominasi chatting anak-anak lebih condong menggunakan emoji. Namun ikatan setiap kelas semakin erat sejak pembelajaran daring ini. Bahkan seringkali ada saja anak yang mengirim pesan pribadi ke penulis jika ada yang menggunakan tablet sekolah tidak sebagaimana mestinya. Misalnya dibuat menelpon dan chatting dengan laki-laki di luar sekolah, atau ketika ada anak yang kurang bertanggung jawab membawa tablet, mereka meminta guru yang dipercaya untuk memindahkan tablet supaya dipegang siswa lain di kelompok itu. Penulis salut dengan tanggung jawab mereka dalam memegang benda yang diamanatkan kepadanya.
Hasil
Interaksi ini meredup di awal tahun 2021. Siswa mulai bosan menghadapi situasi yang ada. Penulis mencoba melakukan pengujian kepada siswa kelas 9 yang akan lulus di tahun ini. Penulis minta mereka menuliskan kesan belajar selama ini dalam tiga paragraf. Pada awalnya penulis sangat ragu bahwa mereka akan abai dengan tugas ini melihat ketertarikannya belajar bahasa Inggris tidak terlalu tinggi.
Di saat hari pengumpulan tugas, penulis kaget dan terharu karena ternyata siswa menulis kalimat indah. Ada yang begitu bersemangat menulis hampir tiga halaman demi menceritakan secara rinci tentang perasaannya ketika belajar bersama penulis.
Untuk memenuhi tugas ini memang penulis mengijinkan siswa untuk menggunakan kamus, baik berupa buku maupun aplikasi online. Jikapun mereka menggunakan Google Translate secara keseluruhan, ada proses yang harus dilalui, yaitu merangkai kata demi kata terlebih dahulu dalam bahasa Indonesia. Saya membayangkan di saat mereka menulis, muncul potongan memori beberapa bulan bahkan minggu yang lalu saat kami masih belajar secara tatap muka. Imajinasi mereka tercipta dengan sempurna dan menuangkannya ke dalam kalimat.
Teks ini kemudian penulis jadikan bahan dalam ujian praktik siswa dengan cara membacanya. Penulis menilai bagaimana mereka melafalkan kata dalam bahasa Inggris dan ketepatan intonasi yang digunakan. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Simpulan
Kami cukup sering berkomunikasi di group wahtsapp dan membicarakan banyak hal. Ada siswa yang suka melaporkan hal-hal yang dilakukan teman sekelas. Dan perang komentar pun dimulai. Di sini, penulis melihat bahwa belajar daring bukan sekadar memberi materi, menjelaskan dan menugasi anak, melainkan ada hal lain yang bisa dilakukan.
Sebagai guru, kita bisa mengajarkan etika berkomunikasi dalam aplikasi Whatsapp, etika menggunakan media sosial dan menyikapi postingan yang dilihat. Beberapa poin ini terkadang dianggap enteng dan lupa disampaikan jika pembelajaran dilakukan di dalam kelas. Lain halnya ketika guru dan siswa berada dalam satu tempat, meskipun daring, maka saat itu juga kesalahan dapat dibenarkan.
Semoga pandemi segera berlalu.
Catatan: Artikel ini akan tayang secara lengkap di Buku Kumpulan Best Practice yang sebentar llagi akan terbit.
Profil Penulis
Dian Savitri, S.Pd. Saat ini mengajar Bahasa Inggris di SMP Negeri 5 Cipongkor telah menghasilkan tiga buku antologi (Nuansa Rindu, Remahan Imajinasi dan Walau Cara Kita Berbeda) serta satu buku tunggal (Secuil Kisah dari Ende). Awardee Beasiswa LPDP Kementerian Keuangan Tahun 2020 program Magister Pendidikan Bahasa Inggris.