Lily Nuraini Damayanty, S.Pd
(Guru Bahasa Indonesia SMPN 3 Ngamprah)
“Kesunyian adalah karib sejati.”
Itu adalah sebuah keyakinan yang kami percayai selama ini. Sebab sebenarnyalah, bagi kuntum-kuntum bunga yang hidup di area permakaman seperti kami, hanya kesunyian yang selalu menemani keseharian kami di sini. Tak ada hiruk pikuk, tak ada keriuhan, tak ada kegaduhan, tak ada bising yang berkepanjangan. Tak ada. Di sinilah tempat di mana kau bisa menemukan ketenangan hakiki. Sebuah sunyi yang abadi.
Kami kuntum-kuntum bunga sangat menyukai suasana seperti ini. Begitu tenang. Begitu senyap. Begitu sunyi. Terlebih bila malam mulai mengambang. Lalu matahari mengucapkan salam dengan mengecup pipi bumi, hingga rona jingga menyemburat pada batas horizonnya.
Maka semilir angin akan menemani kami menari. Meliuk-liukkan tubuh mungil kami yang sedang berzikir sepuas hati. Lalu sunyi akan mulai berirama, ditingkah kukuk burung hantu juga binatang malam lainnya. Kami pun akan semakin khusyuk dalam puja-puji kami pada Sang Pencipta Semesta.
Di beberapa kesempatan, kami akan menerima kunjungan-kunjungan kalian. Manusia-manusia yang mengiringi karibnya berpulang. Maka pada saat itu, kami rumpun-rumpun bunga akan merasakan sunyi dengan nada yang berbeda. Sunyi yang menyayat hingga ke relung terdalam pada rongga dada.
Kami akan menyaksikan isak tangis tertahan kalian. Lalu dengung gumaman, saat baris-baris doa dipanjatkan. Kemudian kami juga akan tertunduk, turut memberikan penghormatan terakhir bagi mereka yang telah berpulang.
Biasanya, setelah itu kesunyian akan semakin memekat. Saat petakziah terakhir mengayunkan langkah ke empat puluhnya. Saat itu dalam keheningan, akan kami dengar suara-suara yang akan membuat siapa pun gemetar.
Pernahkah kalian, para manusia, mendengarnya juga?
Ah, kami rasa kalian tak pernah tahu, bukan? Percakapan yang terjadi antara mereka yang sebelumnya kalian usung dalam keranda, dengan sang utusan pembawa pertanyaan? Saat itu biasanya kami akan semakin larut dalam lantunan kalam-Nya yang bersama-sama kami dengungkan. Kami pun akan terus berzikir sambil menyimak tanya jawab yang berlangsung dalam sunyi yang mengalir.
*** *** ***
Pada beberapa putaran purnama terakhir, kesunyian sepertinya semakin menjadi-jadi di sini. Walaupun tak ada lagi usungan keranda dan iring-iringan para petakziah seperti biasa. Tubuh-tubuh tak bernyawa kini hanya diantar oleh tatap-tatap mata segelintir manusia yang memandang dari kejauhan. Juga tangisan-tangisan, kini teredam oleh lapisan-lapisan kain penghalang. Kain yang menutupi sebagian wajah-wajah letih bersepuh duka mendalam.
Kotak-kotak beroda telah menggantikan iring-iringan pembawa keranda. Orang-orang berpakaian tak biasa akan memasukkan kotak terkunci berisi jasad si mati ke dalam liang lahat secepat yang mereka mampu.
Lalu ke mana perginya kalian? Kami kuntum-kuntum bunga kini bertanya-tanya. Lama pertanyaan kami menggantung di udara. Tak mendapatkan jawaban.
Akhirnya kesiur angin membawa kabar pada kami. Konon semua terjadi karena wabah yang tengah melanda. Ia menyebar di mana-mana. Mengintai diam-diam. Mencuri kesempatan untuk merenggut dengan paksa lagu suka cita, dan menggantinya dengan kidung duka yang membahana. Wabah jugalah yang telah membuat hari-hari menjadi lebih sunyi dari biasanya.
Apakah kami, kuntum-kuntum bunga di area permakaman yang menyukai kesunyian menjadi berbahagia karenanya? Ah, ternyata tidak juga. Malahan kini kami merindukan kalian. Namun bukan sebagai si mati yang terbaring kaku dalam peti terkunci.
Bandung Barat, 02 Juni
Sangat menyentuh hati, tinggal kita menunggu panggilan.