[responsivevoice voice=”Indonesian Female” buttontext=”bacakan”]Oleh: Ema Damayanti
“…saya bukan orang pintar yang begitu mudah memahami sesuatu bahkan seringkali lambat memahami. Hanya saja saya tidak bisa tahan jika harus mengerjakan sesuatu tapi belum memahami. Bukankah kita melakukan seuatu harus paham dulu kan?”
Mengawali kuliah lagi di Magister IKIP Siliwangi, saya sempat shock mencium lagi ruang kuliah dan segala tugas yang diberikan dosen. Maklum sudah hampir 20 tahun tidak lagi berkutat dengan buku, makalah, dan presentasi di ruang kelas. Ya, pelatihan guru mungkin sering diikuti, tapi ruang kuliah tetap saja terasa berbeda dari berbagai sisi. Salah satu tugas mata kuliah yang membuat saya sering terjaga dalam tidur adalah mata kuliah Analisis Wacana Kritis, saya ditugaskan menganilis pemikiran Michel Foucault. Mata kuliah berbau filsafat ini membuatku menangis di malam hari dan ingin menyerah kuliah. Saat baca buku-buku tentang Michel Foucault, satu halaman saja saya termangu, “Ini ngomongin apa sih?” Maklum saya tidak pernah mencoba mendekati buku-buku filsafat sejak dulu apalagi membacanya. Pokoknya buntu. Sampai saya mengacungkan tangan di awal pertemuan kuliah, “Bu, mohon maaf saya tidak mengerti sama sekali, apa sebenarnya yang sedang dibicarakan?”
Rasanya saya merasakan De Javu, sewaktu belajar mata kuliah Bahasa Sansakerta waktu kuliah S-1. Saya tidak mengerti apa yang dijelaskan dosen bahasa Jawa yang penuh wibawa itu dan tiba-tiba diberi PR, menguraikan arti tulisan Sansakerta. Saya bertanya ke kakak kelas, tidak mendapat penjelasan yang membuat pemahamanku utuh. Saya bolak balik membaca-baca diktat yang diberikan dosen dengan putus asa, “Iki ki maksude opo?”Saya pun diberi contoh catatan dari kakak kelas. Saya buat kamus sendiri tentang huruf sanksakerta di kertas manila. Kupandangi dengan penuh tanda tanya, tulisan yang mirip tulisan jawa itu. Semalaman saya mengerjakan PR dengan kebingungan, ga ngerti sama sekali (belum zaman ditemani Mbah Google).
PR sudah dikumpulkan dan saya mengikuti kuliah dengan kebingungan seperti biasa. Tiba-tiba, dosen menyuruh saya ke depan. “Duh, mau diapain ini. “Silahkan kerjakan di depan hasil PR yang Anda kerjakan, PR Anda yang paling tinggi nilainya 95”. Saya kaget, mana bisa nilaiku bagus sementara saya tidak mengerti sama sekali dengan mata kuliah ini.
Saya pun berterus terang dengan ketakutan yang masih menguasai diri, “Maaf Ibu, saya sebenarnya sama sekali belum mengerti. Saya tidak mengerti isi diktat yang ibu berikan, tidak tahu cara memakainya”, “Bagian mana yang Mbak Ema belum mengerti?” Saya menjelaskan (lupa lagi, udah lewat 20 tahun hehe)” Ingatan yang tersisa kalau bahasa sansakerta, satu kata mengandung informasi jenis kelamin dll, bahkan perbedaan satu tanda saja bisa merubah arti. Komentar ibu dosen, “Ternyata, yang menulis tidak mengerti apa yang ditulisnya ya”. Ibu dosen pun menjelaskan lagi. Ya Allah saat itu saya betul-betul mengerti semua kebingungan rasanya terbang, rasanya ingin teriak, “Yeay..saya mengerti sekarang!” Ternyata diktat yang diberikan ibunya berfungsi sebagai kamus. Saat mengerjakan ujian akhir, saya merasa lancar jaya, bisa mengerti” Begitu lihat nilai di KHS, saya teriak dan lompat-lompay yeay A, lebih bahagia daripada matkul lain yang dapat A.
Nah, 20 tahun kemudian, di ruang kelas saya kembali mengacungkan tangan saat usia dua kali lebih matang dan diantara anak-anak muda dengan kecerdasan dan ilmu yang mengagumkan. Tapi pertanyaanku sama, “Maaf ibu, saya tidak mengerti yang dibicarakan”. Saya mengerti, filsafat bukan bahasa sanksaketra yang bisa dijelaskan dalam beberapa pertemuan. Anak muda teman kuliahku mengatakan dia belajar filsafat selama 3 tahun. Dia menyarankan saya mendengarkan “Ngaji Filsafat” Fahrudin Faiz, seorang dosen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Weh ternyata, enak banget mendengarnya. Beliau mampu menyederhanakan sesuatu yang rumit dipahami. Saya tidak menyangka filsafat ternyata begitu indah didengarkan.
Setelah itu saya baca buku komik tentang Foucault, bacaan Filsafat tingkat pemula. Baca satu lembar hampir 10 kali membaca. Baca berbagai penelitian tentang Foucault lumayan sedikit membuka pemahaman. Di motor, saat cuci piring, saat tidur saya terjaga, tidur lagi, terjaga lagi. Pikiranku dipenuhi Michel Foucault. Tibalah menjelaskan kepada teman-teman Siapa Michel Foucault dan bagaiman pemikiran Michel Foucoult. Alhamdulillah, beberapa teman mengapresiasi katanya sangat memahami apa yang saya sampaikan. Beberapa diantara mereka minta izin untuk memakai analisis dengan cara Foucault saja. Alhamdulillah, tidak sia-sia ternyata bermanfaat.
Saya tuliskan semua ini sebenarnya hanya ingin mengatan bahwa saya bukan orang pintar yang begitu mudah memahami sesuatu bahkan seringkali lambat memahami. Hanya saja saya tidak bisa tahan jika harus mengerjakan sesuatu tapi belum memahami. Bukankah kita melakukan seuatu harus paham dulu kan? Tapi, ada kalanya saya juga menyerah untuk memahami sesuatu dan ternyata tidak semua orang bisa menerima pertanyaan jujur seperti itu. Pernah bertanya seperti itu saat mata kuliah Sintaksis. Ibu dosennya yang masih muda itu malah berkata, “Kamu menguji saya ya? Silakan beri contoh di depan kalimat yang mengandung pelengkap!” Duh, saya bukan orang yang suka bertanya untuk menguji, bahkan saya tidak masalah terlihat bodoh karena bertanya. Saya hanya ingin mengerti. Itu saja.
Saya jadi bekesimpulan sepertinya walau tampak sepele, penting sekali membuat siswa mengacungkan tangan dan berkata, “Maaf ibu, saya tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan?” Nah, saya pikir seorang guru di kelas harus bisa membuat siswanya bertanya karena dari sanalah sumber pengetahuan akan muncul. Tapi seringkali siswa ingin bertanya saja takut. Bagaimana cara membuat siswa tidak malu bertanya? Mari kita belajar lagi dan tunggu tulisan selanjutnya…
[/responsivevoice]
Wuihhh..keren sekali tulisannya 👍. Saya yakin, Bu Ema seorang pejuang tangguh yang tidak menyerah begitu saja untuk sampai pada tahap ” mengerti”ketika mempelajari sesuatu. Tak malu dan ragu berucap ” Bu, saya belum mengerti”, karena dari sanalah ” ketidakmengertian” mulai sampai pada ” ke- mengertian”. Bravo Bu Ema👏