–
Oleh:Adhyatnika Geusan Ulun
(Kepala SMPN Satu Atap Lembang Cililin)
Kebijakan pelestarian bahasa Sunda di kalangan pemegang kepentingan masih berada di tataran konsep. Sementara dalam implementasinya, terkadang tidak dilaksanakan secara konsekuen.
Indonesia dari masa ke masa terkenal sabagai tempat tinggal bagi ratusan bahasa daerah. Bahkan angkanya hampir mencapai 1000-an. Hal tersebut berdasarkan data dari pemerintah melalui laman petabahasa.kemdikbud.go.id, Indonseia memiliki 801 bahasa daerah (2019).
Sementara itu, dalam rilis Ethnologue: Languages of the world di edisi 15, mengungkapkan sekurang-sekurangnya terdapat 742 bahasa daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan data Unesco (2018) yang mencatat ada sekitar 640 bahasa daerah yang dituturkan oleh penduduk negeri ini.
Ada hal yang membuat kita miris, ternyata dari data yang dirilis Kemdikbud, setidaknya 14 bahasa daerah telah punah, atau tidak diketemukan lagi penutur aslinya. Terutama di wilayah Indonesia Timur. Bahkan, saat ini setidaknya ada 25 bahasa daerah yang terancam hilang dari ragam budaya kita.
Hal di atas menjadi pertanyaan besar bagi kita, seberapa besar peran kita dalam melestarikan khasanah budaya, khususnya bahasa daerah, di tengah derasnya arus perkembangan zaman yang tidak bisa dibendung seperti sekarang ini? Padahal, seperti diketahui, bahwa hilangnya bahasa daerah merupakan kemunduran dari suatu budaya. Lebih jauh lagi, menjadi alarm bahaya bagi eksistensi bangsa yang menjunjung tinggi nilai luhur budaya sebagai identitas kebanggaan kita semua.
Sebenarnya pemerintah telah mengupayakan peletastarian bahasa daerah dengan menerbitkan Undang-Undang RI No 24 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2014, yang didalamnya mengatur tentang penanganan terhadap bahasa daerah merupakan tanggung jawab kita bersama.
Dalam kebijakan penangan terhadap bahasa dan sastra daerah tersebut, terdapat tiga langkah yang harus dilaksanakan, yaitu dalam hal pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah.
Bahasa Sunda
Bagaimana dengan bahasa Sunda? Badan Pusat Staistik (BPS) pada 2015 menyampaikan sekurang-kurangnya terdapat 42 juta penutur bahasa Sunda. Bahasa daerah ini menempati posisi kedua setelah bahasa Jawa sebagai bahasa pergaulan dan keluarga.
Namun, masih dalam data BPS, disebutkan dalam 10 tahun terakhir, hampir dua juta penutur bahasa Sunda berkurang. Tidak dapat dibayangkan jika 10 -20 tahunh kedepan. Tentu menjadi pekerjaan rumah besar bagi masyarakat Sunda agar eksistensi bahasa daerah ini tetap hadir dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sejumlah faktor yang menjadi penyebab tergerusnya bahasa Sunda di tengah masyarakat penutur aslinya sendiri. Di antara penyebab semakin berkurangnya penutur bahasa Sunda adalah semakin kurangnya minat penggunaan bahasa tersebut dalam pergaulan sehari-hari dari generasi ke generasi.
Selain itu, kebijakan pelestarian bahasa Sunda di kalangan pemegang kepentingan masih berada di tataran konsep. Sementara dalam implementasinya, terkadang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Contoh sederhananya adalah para pemegang kebijakan sering ditemukan tidak begitu membumikan bahasa Sunda ketika menyosialisasikannya kepada masyarakat.
Contoh lainnya adalah ketika digalakkannya “Kemis Nyunda”, atau program-program yang mengangkat kearifan lokal dengan ragam pasanggiri, kompetisi, dan aneka lomba lainnya, disadari atau tidak sering hanya sekedar kegiatan seremonial saja, tanpa menyentuh makna pentingnya bahasa Sunda sebagai identitas luhur masyarakat Sunda.
Tentu pelestarian bahasa Sunda dengan strategi-strategi di atas sangat baik. Namun, untuk meletarikan bahasa Sunda harus dilakukan secara masif. Dan, semuanya harus diawali dari masyarakat Sunda sendiri.
Hal lain yang harus segera dilakukan adalah dengan pembiasaan bertutur bahasa Sunda di setiap pertemuan-pertemua resmi. Hal ini sangat efektif untuk menunjukkan “wiwaha” Sunda kepada para audiens. Kalaupun bahasa Nasional harus tetap dipakai, setidaknya me-“mix” dua bahasa tersebut agar tidak menghilangkan sama sekali.
Berikutnya, peran para pemegang kebijakan tentu lebih berperan dalam membumikan bahasa Sunda sebagai tuan rumah di tanahnya sendiri. Melalui keteladanannya, diyakini lebih memiliki kekuatan dalam menjaga kelestarian bahasa Sunda.
Begitupun dengan satuan pendidikan, peran guru dan warga sekolah lainnya sangat menentukan keberlangsungan dan pelestarian bahasa Sunda. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pembiasaan di setiap pembelajaran, selain pembiasaan lainnya yang telah dilaksanakan.
Akhirnya, cita-cita untuk menjadikan bahasa Sunda sebagai tuan rumah di negeri sendiri haruslah dilakukan saat ini juga. Dengan demikian, bahasa daerah kebanggaan kita ini tidak tercatat sebagai calon bahasa yang hampir punah.
Selamat “Miêling Basa Indung” Internasional, semoga bahasa Sunda tetap lestari dan terus menjadi penyokong utama khazanah budaya luhur bangsa Indonesia. ***