Dr. H. Rustiyana, ST.MT.,M.Pd., M.A.P
(Sekretaris Dinas Pendidikan Kab. Bandung Barat)
Bullying atau perundungan pada peserta didik terkadang bisa menimbulkan trauma yang mendalam. kekerasan ini bisa terjadi di sekolah, di rumah, bahkan di lingkungan masyarakat sendiri.
Dalam kesempatan memberikan pembinaan kepada sejumlah kepala sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kab. Bandung Barat baru-baru ini, penulis menegaskan pentingnya pengawasan dan pencegahan tindak kekerasan pada peserta didik yang berujung pada perundungan.
Seperti dikethaui, bullying atau perundungan adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata, maupun dunia maya yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan baik dilakukan oleh perorangan, ataupun kelompok.
Terdapat jenis-jenis bullying, yaitu: secara verbal, seperti tindak perundungan cyber melalui media elektronik. Kemudian, secara fisik, seperti memukul, menampar, mendorong, menggigit, menendang, mencubit, mencakar, dan tindak pelecehan seksual.
Selanjutnya, secara non fisik, seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, menggangu, memanggil dengan julukan
atau kecacatan fisik. Dan, secara non verbal baik langsung, maupun non verbal-secara tidak langsung.
Di sisi lain, pihak-pihak yang terlibat dalam bullying, yaitu:
- Korban,
- Pelaku, dan
- saksi.
Korban, seperti anak yang seringkali menjadi korban bullying biasanya mengarah pada kondisi anak yang ”berbeda” baik secara
fisik maupun non fisik yaitu: 1). Anak yang cenderung sulit bersosialisasi yang sering disebut dengan “culun”. 2). Anak yang fisiknya berbeda dengan yang lain (terlalu kurus, terlalu gemuk, mempunyai ciri fisik yang menonjol, dan lain-lain), dan 3). Anak yang cenderung berbeda dengan yang lain, misalnya berasal dari keluarga yang sangat kaya, sangat sukses, sangat miskin, sangat terpuruk, dan lain-lain.
Sementara itu, pelaku perundungan memiliki kecenderungan sikap hiperaktif, impulsif, aktif dalam gerak, dan merengek, menangis berlebihan, menuntut perhatian, tidak patuh, menantang, merusak, ingin menguasai orang lain.
Kemudian, pelaku memiliki temperamen yang sulit dan masalah pada atensi/konsentrasi, dan hanya peduli terhadap keinginan sendiri, sulit melihat sudut pandang orang lain dan kurang empati, adanya perasaan iri,benci, marah, dan biasanya menetupi rasa
malu dan gelisah, memiliki pemikiran bahwa “permusuhan” adalah sesuatu yang positif, dan cenderung memiliki fisik yang lebih kuat, lebih dominan dari pada teman sebayanya.
Adapun saksi, adalah seseorang atau kelompok yang melihat/menyaksikan terjadinya kasus bullying.
Akibat yang ditimbulkan bullying, bagi korban akan mengalami kesakitan fisik dan psikologis, kepercayaan diri yang merosot, malu, trauma, merasa sendiri, serba salah, takut sekolah, korban mengasingkan diri dari sekolah, menderita ketakutan sosial, timbul keinginan untuk bunuh diri dan mengalami ganggunan jiwa.
Sedangkan untuk pelaku bullying seringkali akan belajar bahwa tidak ada risiko apapun bagi mereka bila mereka melakukan kekerasan, agresi maupun mengancam anak lain. Ketika dewasa, pelaku memiliki potensi lebih besar untuk menjadi pelaku kriminal dan akan bermasalah dalam fungsi sosialnya.
Dan, untuk saksi bullying seringkali mengalami perasaan yang tidak menyenangkan dan mengalami tekanan psikologis yang berat, merasa terancam dan ketakutan akan menjadi korban selanjutnya, dapat mengalami penurunan prestasi di kelas karena perhatian masih terfokus pada bagaimana menghindari menjadi target perundungan/bullying dari pada tugas akademik.
Perlindungan anak dan sanksi
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan perlindungan anak (Kebijakan dan Sanksi) melalui Undang-Undang No. 35 tahun
2014 yang merupakan Perubahan atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 76 C yang menyebutkan: “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”.
Kemudian, pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang menyebutkan: Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
pendidik, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.
Lalu, Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan Penanggulangan Tindak kekerasan di Lingkungan Satuan pendidikan.
Adapun sanksi yang dicantumkan dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014, pada Pasal 80 ayat (1) : Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 76 C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Kemudian pada Pasal 80 ayat (2) : Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Bahkan, sanksi yang lebih berat dicantumkan dalam Pasal 80 ayat (3) : Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Akhirnya, peran serta semua pihak diharapkan dapat mencegah terjadinya bullying. Satuan pendidikan bersama seluruh warga sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah pusat diharapkan menaruh perhatian besar atas kasus-kasus perundungan yang terjadi akhir-akhir ini. Sehingga, generasi unggul dan berkarakter akan tercipta melalui lingkungan belajar, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan keluarga yang kondusif. ***